Sudah baca ini ?
Tunggu ya...
Rabu, 28 Oktober 2015

Info Post
Ini sebuah fakta, saya katakan inilah keadaan dan potret kita. anda tak percaya?
Contoh, orang sakit gigi, hatinya berkecamuk berbagai perasaan, ya sakit, ya kesal, ya gemez, sedikit saja ada hal yang tak disukainya, maka dia akan cepat marah.. nah inilah efek suasana hati yang tidak tenang dan tidak nyaman.
So.. jika anda seorang yang mudah tersinggung dalam bergaul, misalkan ada teman posting tentang sesuatu di facebook, anda tiba2 langsung tak enak hati, kemudian koment “Jelegerrrr” .. padahal posting kemana, koment ngelantur, seolah olah si pemosting sedang menyindir kita, padahal belum tentu demikian..

Indahnya pemilik hati yang tenang…
Seseorang yang hatinya diliputi ketenangan, disaat dia menerima sindiran, menerima masukan dan kritik, maka dia akan segera menangkap peluang, untuk memperbaiki diri, untuk lebih menjadikan dirinya jauh lebih baik .. bukannya malah ngambek dan marah2 ga jelas, .. karena.. cambuk pemicu terbaik untuk menjadikan diri lebih baik adalah teguran, bukan pujian yang malah bisa melenakan.. menghancurkan dan membunuh amalan secara perlahan. Apalagi jika kritik itu berupa sindiran, sesuatu yang ga ditunjuk muka “Hey kamu kok begini!!” .. Maka dia akan berusaha berkaca, menerima itu semua, dan melihat kedalam dirinya, “O iya..mungkin ada yang perlu banyak saya perbaiki dalam perbuatan saya.. “
Berbeda dengan orang yang keruh hatinya, .. 
Saat dia membaca sebuah kritikan, hatinya panas, cemas, gelisah, dan marah, maka apapun halnya, dia akan berusaha lawan sebisanya, karena hatinya tak pernah menerima kalau dirinya Bisa jadibersalah.. dengan standar tidak suka, dia membabi buta, dan menjadikannya malah akan terlihat kebodohannya, karena sikapnya sudah gelap, dan jarinya pun akan menulis apa saja yang ada dalam isi hatinya berupa kemarahan dan perasaan tidak terima.. dalam rangka membela dirinya dan menolak apa2 yang dia anggap akan merusak kredibilitasnya,.. so padahal jika dia kaji lebih dalam, yang dia baca, atau dia dengar, itu hal umum dan bukan tunjuk mukanya..
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 89)
Jika kita sering menulis misal dijejaring sosial, kemudian komentator kita berisi pujian isi komentarnya, maka kita patut curiga dan mawas diri, kemana sahabat yang bisa menegur kita dan meluruskan kesalahan kita, tak mungkinkah sekian kata kita torehkan ada kesalahan?
Pujian dan sanjungan orang lain kepada kita bukanlah standar apalagi jaminan. Sebab ketinggian derajat yang hakiki adalah di sisi-Nya. Oleh sebab itu, tatkala dikabarkan kepada Imam Ahmad oleh muridnya mengenai pujian orang-orang kepadanya, beliaupun berkata,“Wahai Abu Bakar -nama panggilan muridnya-, apabila seseorang telah mengenal jati dirinya, maka tidak lagi bermanfaat ucapan (pujian) orang lain terhadapnya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalabil Ilm, hal. 22). Ini adalah Imam Ahmad, seorang yang telah hafal satu juta hadits dan rela mempertaruhkan nyawanya demi menegakkan Sunnah dan membasmi bid’ah. Demikianlah akhlak salaf, aduhai… di manakah posisi kita bila dibandingkan dengan mereka? Jangan-jangan kita ini tergolong orang yang maghrur/tertipu dengan pujian orang lain kepada kita. Orang lain mungkin menyebut kita sebagai ‘anak ngaji’, orang alim, orang soleh, atau bahkan aktifis dakwah. Namun, sesungguhnya kita sendiri mengetahui tentang jati diri kita yang sebenarnya, segala puji hanya bagi Allah yang telah menutupi aib-aib kita di hadapan manusia… 
Mungkin saja justru kritikan yang tidak kita sukai itu justru penyelamat kita.. 
“Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyenangi sesuatu padahal itu adalah buruk bagi kalian. Allah Maha mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui -segala sesuatu-.” (QS. al-Baqarah: 216)
Sebagian orang, setelah selesai mendengar kritikan dari saudaranya seketika itu pula ia memberikan ‘serangan balik’ kepada sang pengkritik. Padahal, nasehat yang didengarnya belum lagi meresap ke dalam akal sehatnya. Karena merasa dirinya telah ‘dilecehkan’ dia pun berkata kepada temannya, “Saya juga punya kritikan kepadamu. Kamu itu begini dan begitu…” Wahai saudaraku -semoga Allah merahmatimu- marilah kita bersama-sama berlatih untuk menerima kritik dan nasehat dengan lapang dada (lihat wasiat ke-31 bagi penuntut ilmu, dalam Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilm, hal. 268-269).
Atau berkata :
Sebaiknya kritikmu sampaikan di inbox!!
Lah dia padahal menulis di publik !!
Bukankah kaidah : kesalahan yang tersebar harus diluruskan dengan menyebarkannya pula?
Akan tetapi…. kita memang perlu juga melangkah menasehati di inbox terlebih dahulu, namun tak mutlak, jika sebuah status misalnya, sudah di share banyak orang, disukai banyak orang, dan di respon banyak orang, maka tak salah jika kita menyampaikannya disela sela komentar yang sudah ada..
Yang jelas.. ketulusan seseorang dalam menerima kritikan yang disampaikan dengan baik, dan beradab akan teruji dengan “Bagaimana dia menyikapi teguran yang datang padanya..” apakah ngambek, menerima dengan lapang, atau malah bersilat lidah ngalor ngidul ?
Teman yang baik bukan yang selalu memujimu tapi yang bisa mengingatkanmu disaat lalai dan salah
Dalam sebuah hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau :
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة
Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’adi rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan pertemanan dengan dua contoh (yakni penjual minyak wangi dan seorang pandai besi). Bergaul bersama dengan teman yang shalih akan mendatangkan banyak kebaikan, seperti penjual minyak wangi yang akan memeberikan manfaat dengan bau harum minyak wangi. Bisa jadi dengan diberi hadiah olehnya, atau membeli darinya, atau minimal dengan duduk bersanding dengannya , engkau akan mendapat ketenangan dari bau harum minyak wangi tersebut. Kebaikan yang akan diperoleh seorang hamba yang berteman dengan orang yang shalih lebih banyak dan lebih utama daripada harumnya aroma minyak wangi. Dia akan mengajarkan kepadamu hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agamamu. Dia juga akan memeberimu nasihat. Dia juga akan mengingatkan dari hal-hal yang membuatmu celaka. Di juga senantiasa memotivasi dirimu untuk mentaati Allah, berbakti kepada kedua orangtua, menyambung silaturahmi, dan bersabar dengan kekurangan dirimu. Dia juga mengajak untuk berakhlak mulia baik dalam perkataan, perbuatan, maupun bersikap. Sesungguhnya seseorang akan mengikuti sahabat atau teman dekatnya dalam tabiat dan perilakunya. Keduanya saling terikat satu sama lain, baik dalam kebaikan maupun dalam kondisi sebaliknya.
Jika kita tidak mendapatkan kebaikan-kebaikan di atas, masih ada manfaat lain yang penting jika berteman dengan orang yang shalih. Minimal diri kita akan tercegah dari perbuatan-perbuatn buruk dan maksiat. Teman yang shalih akan senantiasa menjaga dari maksiat, dan mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan, serta meninggalkan kejelekan. Dia juga akan senantiasa menjagamu baik ketika bersamamu maupun tidak, dia juga akan memberimu manfaat dengan kecintaanya dan doanya kepadamu, baik ketika engkau masih hidup maupun setelah engkau tiada. Dia juga akan membantu menghilangkan kesulitanmu karena persahabatannya denganmu dan kecintaanya kepadamu. (Bahjatu Quluubil Abrar, 148)
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata :
وفى جملة، فينبغى أن يكون فيمن تؤثر صحبته خمس خصال : أن يكون عاقلاً حسن الخلق غير فاسق ولا مبتدع ولا حريص على الدنيا
“ Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi sahabat memiliki lima sifat berikut : orang yang berakal, memiliki akhlak yang baik, bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah, dan bukan orang yang rakus dengan dunia” (Mukhtasar Minhajul Qashidin 2/36).
Semoga bermanfaat..
Sumber inspirasi tulisan diambil dari : muslim.or.id

0 komentar:

Posting Komentar

SIlahkan tulis komentar dengan bebas dan sopan